Inspirasi Cakrawala - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia atau MAKI mendukung langkah Ikatan Wajib Pajak Indonesia atau IWPI yang membuat laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK atas proyek Coretax pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Langkah IWPI itu, kata Koordinator pendiri MAKI, Boyamin Saiman sebagai bukti bentuk kegelisahan para wajib pajak dengan aplikasi yang bernilai triliunan rupiah tersebut sulit digunakan. Sebabnya ditunggu keberanian KPK bongkar dan usut pengadaan proyek tersebut.
"Dukung penuh laporan tersebut, masak habiskan uang besar itu, tapi malah eror," cetusnya kepada mediusnews.com, Jakarta, Sabtu 25 Januari 2025.
Adapun perusahaan yang bekerjasama dengan DJP yakni PricewaterhouseCoopers (PwC), Deloitte, dengan pemenang tender LG CNS Qualysoft. Boyamin pun menduga perangkat Coretax tersebut di beli dari Eropa Timur.
"Diduga Sofhware beli dari Eropa Timur. Kelas UKM (Usaha Kecil Menengah). Dipasang di DJP dengan Wajib Pajak lebih dari 30 juta dan ratusan juta transaksi itu jebol tanpa mitigasi, sehingga merugikan rakyat pembayar pajak," tutur dia.
Sebabnya, Ia menyarankan KPK mau menelisik pengadaan proyek Coretax tersebut dengan melakukan pemeriksaan kepada pihak terkait, menyusul telah menelan anggaran negara hingga triliunan rupiah.
"Periksa siapa aja yang mengetahui dan melaksanakan proyek tersebut tanpa sebut nama," tegas dia.
KPK Didesak Selidiki Data Pajak Pejabat DJP Pembuat Kebijakan Coretax Rp1,3 T, IWPI Minta Rasa Keadilan
Ironisnya, lanjut Boyamin pengadaan proyek itu dinilai tanpa perencanaan yang matang, karenanya ada potensi merugikan negara, selain itu sudah merugikan para wajib pajak dan menganggu perekonomian nasional.
"Proyek tanpa perencanaan matang berpotensi merugikan negaran," tutur dia.
Senada juga disampaikan pakar IT dari PT Enygma Solusi Negeri, Erick Karya. Ia pun mengkritisi sejumlah isu teknis yang muncul dalam implementasi teknologi Coretax. Terutama terkait durasi pengawasan yang tidak selaras dengan kontrak kerja.
Menurut Erick, kontrak pekerjaan Coretax berlangsung sejak 2020 hingga 2024. Namun, proyek pengawasannya hanya berakhir pada 2023.
“Hal ini menunjukkan asumsi prematur bahwa aplikasi sudah siap digunakan tanpa pengawasan penuh selama masa implementasi di level pusat," tutur dia dalam keterangannya, Jakarta, Kamis 23 Januari 2025.
(Tim Red).